Antinuclear Antibody (ANA) HEp-2 dan Penegakan Diagnosis Penyakit Autoimun
Struktur biologis manusia memiliki suatu mekanisme imunitas yang mana memungkinkannya bisa melakukan pertahanan tubuh dari pengaruh eksternal. Dalam kondisi normal, sistem imun ini mampu mengidentifikasi dan membunuh patogen yang menyerang sel-sel tubuh. Akan tetapi, ada suatu kondisi di mana sistem kekebalan yang terbentuk salah mengidentifikasi targetnya. Inilah yang disebut dengan penyakit autoimun; saat sel, jaringan, atau organ tubuh manusia sendiri yang justru dianggap sebagai “benda asing” sehingga diserang oleh antibodi. Oleh karena itu, pengidap penyakit autoimun akan mengalami kerusakan tubuh—baik dalam taraf organ atau pun sistem organ—akibat “kekebalan keliru” yang terbentuk.
Seperti yang dituliskan Branch dan Porter (2000), terdapat dua teori utama yang menerangkan mekanisme terjadinya penyakit autoimun. Pertama, autoimun disebabkan oleh gagalnya delesi DNA limfosit normal untuk mengenali antigen tubuh. Kedua, kegagalan regulasi normal sistem imunitas—yang mengandung beberapa sel imun yang mengenali antigen tubuh, namun mengalami supresi. Kombinasi antara faktor genetik dan lingkungan berperan dalam ekspresi penyakit ini.
Beberapa contoh penyakit autoimun sistemik antara lain adalah rheumatoid arthritis (RA), systemic lupus erythematosus (SLE), dan antiphospholipid syndrome (APS). Penyakit autoimun memiliki simtom umum yang tidak spesifik sehingga perlu metode khusus dalam diagnosisnya.
Disadur dari American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on Immunologic Testing Guidelines (2002), uji imunofluoresensi tidak langsung (indirect fluorescent/IIF) pada sel HEp-2 (ANA HEp-2) adalah metode skrining standar dalam proses diagnostik multitahap yang telah digunakan secara luas untuk mendeteksi ANA. Hal tersebut diperkuat oleh penuturan Sack et al. (2009) bahwa penggunaan IIF pada sel HEp-2 dalam skrining primer memberikan gambaran yang baik tentang sebagian besar AAB spesifik non-organ beserta konsentrasinya yang relevan secara diagnostik di dalam sampel.
Berdasar terminologinya, ANA adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan berbagai autoantibodi yang bereaksi dengan unsur-unsur inti sel, termasuk DNA, protein, dan ribonukleoprotein. Umumnya, individu yang mengidap penyakit autoimun sistemik akan memiliki kadar ANA lebih tinggi dibanding individu normal. Sedangkan sel HEp-2, susunan protein asli dengan ratusan antigen, menyediakan substrat yang ideal untuk mendeteksi ANA.
Skrining ANA Hep-2 dengan pengecatan fluoresen akan menghasilkan pola-pola tertentu apabila diamati. Pembacaan pola IIF berfungsi sebagai kunci penting untuk membantu penegakan diagnosis pasien. Memahami pentingnya karakteristik berbagai pola memungkinkan patolog melakukan pengujian tindak lanjut secara kompeten untuk memastikan diagnosis.
Hasil pewarnaan sel untuk HEp-2 menunjukkan beberapa pola macam pola. International Consensus on ANA Patterns (ICAP ANA) mengklasifikasikan pola Hep-2 berdasarkan pola pada interfase dan fase mitosis sel. Pola inti yang paling sering ditemui yaitu homogen (homogenous), berbintik (speckled), sentromer (centromere), nucleolus (nucleolus), dan titik nucleus (nuclear dots). Kelima pola tersebut merupakan hasil dari autoantibodi yang mengikat bagian-bagian spesifik dari nukleus. Meskipun pengujian ANA adalah khusus untuk struktur inti, pola sitoplasma yang terkait dengan autoantibodi juga dapat diamati.
Negative Patterns |
Tidak tampak fluoresensi atau fluoresensinya non-spesifik. Meskipun intensitasnya bisa tampak, jika tidak ada pola yang dapat dikenali, sampel dianggap negatif. |
Nuclear Pattern
Cytoplasmic Pattern
Mitotic Pattern
Dalam beberapa kasus, beberapa autoantibodi mungkin ada dalam sampel yang diuji sehingga hasil pengecatan fluoresen mungkin muncul sebagai pola campuran sehingga membuat penegakan diagnosis tidak bisa dilakukan dengan metode IFF tunggal. Menurut Peene et al. (2001), pemeriksaan ANA-ELISA digunakan sebagai tahap konfirmasi lanjutan. Hal tersebut dikarenakan ANA-ELISA mampu mendeteksi antibodi secara tidak langsung menggunakan label enzim dan zat kromogen sebagai indikator reaksi.
Mengingat bahwa IIF adalah metodologi skrining primer untuk mendeteksi autoantibodi, sangat penting bagi kita untuk memilih antibodi, reagen, dan substrat jaringan yang berpengaruh seoptimal mungkin pada hasil pengujian. Oleh karena itu, kami menyediakan berbagai pilihan brand kit yang kompatibel dalam diagnosis autoimun dari beragam sampel.
Source:
Branch, D. & Porter, T. (2000). Autoimune disease. In: James D, Steer P, Weiner C, Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New York: W.B Saunders; p. 853-84.
Sack, U., Conrad, K., Csernok, E., et al. (2009). Autoantibody Detection Using Indirect Immunofluorescence on HEp-2 Cells. Contemporary Challenges in Autoimmunity, Volume 1173, 166.
Solomon DH, Kavanaugh AJ, Schur PH, and the American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on Immunologic Testing Guidelines. Evidence-based guidelines for the use of immunologic tests: antinuclear antibody testing. Arthritis Rheum 2002; 47:434–44.
Editor: Fiorentina Refani
Leave a Reply