IL-10 untuk Pengujian Penyakit Berbasis Imun
Dalam respons tubuh mengenali berbagai macam patogen, kita mengenal apa yang disebut dengan sitokin. Sitokin sendiri merupakan molekul peptida atau protein yang khususnya dihasilkan oleh limfosit dan makrofag teraktivasi. Sitokin terbagi menjadi kemokin, interferon, limfokin, interleukin, dan tumor necrosis factor (TNF). Karena berperan dalam komunikasi (signaling) antar sel, maka protein ini memegang kedudukan vital dalam mekanisme pertahanan awal melawan patogen dengan mengatur keseimbangan antara imunitas selular, imunitas humoral, maupun dalam proses inflamasi.
Berdasarkan perannya dalam reaksi inflamasi di dalam tubuh, sitokin dibagi menjadi sitokin pro-inflamasi dan anti-inflamasi. Yang termasuk dalam jenis sitokin pro-inflamasi di antarnya yaitu TNF-α, IFN, IL-1β, IL-3, IL-5, IL-6, dan IL-8. Jenis-jenis sitokin pro-inflamasi tersebut dapat saling menginduksi produksi serta bekerja secara sinergis. Menurut Zhu et al. (2019), sitokin pro-inflamasi tidak hanya berpartisipasi secara langsung pada inflamasi, tetapi juga memperbesar respons inflamasi yang ada dengan meningkatkan produksi sitokin-sitokin inflamasi lainnya. Interaksi antar sitokin-sitokin pro-inflamasi dapat melemahkan integritas sawar darah otak (blood brain barrier integrity), eksaserbasi/peningkatan gejala edema otak, dan polarisasi mikroglia menjadi fenotipe M1.
Di lain sisi, IL-4, IL-10, IL-11, dan IL-13 yang termasuk dalam jenis sitokin anti-inflamasi memiliki sifat analgesik. Sitokin anti-inflamasi mampu meningkatkan diferensiasi mikroglia menjadi tipe M2 yang berperan dalam pembersihan hematoma dan debris jaringan, mengurangi kadar sitokin pro-inflamasi, dan berkontribusi pada perbaikan jaringan. Jika sitokin pro-inflamasi diproduksi pada fase awal inflamasi, lain halnya dengan sitokin anti-inflamasi yang dihasilkan pada fase lanjut. Hubungan kadar sitokin pro-inflamasi dan anti-inflamasi merupakan bagian dari respon imun yang bekerja secara simultan untuk menjaga homeostasis tubuh.
IL-10 sendiri diproduksi oleh sel T helper-2 (Th-2), subset sel T CD4 positif (termasuk Th-1 dan Th-17), limfosit B, neutrofil, makrofag dan beberapa subset sel dendritik. IL-10 dapat menghambat kemampuan sel mieloid seperti makrofag dan sel dendritik untuk mengaktifkan sel Th-1 sehingga produksi sitokin dari Th-1 terhalang. Berbagai studi telah mengidentifikasi bahwa IL-10 berkorelasi dengan kerentanan terhadap tuberkulosis, baik pada manusia maupun hewan percobaan. Kadar sitokin anti-inflamasi yang terlalu tinggi dibanding pro-inflamasi membuat kerja respons imun kurang efektif dalam melawan patogen yang menginvasi sel tubuh.
Melalui penelitian yang dilakukan Redford et al. (2011), terbukti bahwa IL-10 juga dapat menghambat proses fagositosis dan eliminasi mikroba seperti M. tuberculosis dengan cara membatasi produksi oksigen intermediate dan nitrogen reaktif yang dimediasi oleh aktivasi IFN-γ serta menghambat pematangan fagosom sehingga memfasilitasi kelangsungan hidup dan perkembangan baksil M. tuberculosis. Didukung juga oleh riset yang dilakukan Ameixa dan Friedland (2001) yang menyatakan IL-1- mengarahkan pada terjadinya penurunan sekresi dan transkripsi IL-8 yang berfungsi mengerahkan leukosit menuju formasi granuloma pada penyakit tuberkulosis.
Selain untuk diagnosis tuberkulosis, kadar IL-10 dalam plasma darah juga digunakan untuk membedakan pneumonia ringan dan pneumonia akut (Lucena-Silva et al., 2016), deteksi cedera otak akibat trauma/traumatic brain injury (Natsir et al., 2021), hingga deteksi penyakit malaria (Ryanto et al., 2019). Melihat luasnya spektrum pengujian kadar IL-10, maka jenis sitokin anti-inflamasi satu ini dianggap memungkinkan untuk menjadi penanda atau biomarker klinis yang penting terhadap progesivitas suatu penyakit.
Umumnya, pengujian kadar IL-10 dilakukan dengan metode ELISA. Namun, IL-10 juga dapat diuji dengan imunohistokimia yang menitikberatkan pada interaksi antigen-antibodi yang terjadi antara marker IL-10 dengan antibodi primer seperti yang telah dilakukan Winarto dan Budiono (2009). Deteksi yang digunakan adalah deteksi kromogenik berdasarkan warna yang timbul sebagai akibat reaksi enzimatis yang terjadi antara enzim HRP dengan substratnya. IL-10 dapat juga diuji melalui metode immunofluorescent (Pereira et al., 2015).
Jika Anda riset terkait dengan Interleukin 10 (IL-10), kami menyediakan berbagai brand antigen, antibodi, reagen, maupun alat dan bahan lain yang kompatibel dalam riset pengujian kadar IL-10 dari beragam sampel dan metode bagi Anda.
Silakan kontak kami untuk melakukan konsultasi dan pemesanan:
CS Flexylabs
+6281283722016
Source:
Ameixa, C. & Friedland, J.S. (2001). Down-regulation of Interleukin-8 secretion from Mycobacterium tuberculosis infected monocytes by Interleukin-4 and -10 but not by Interleukin-13. Infection and Immunity. 2470–247.
Lucena-Silva, N., Torres, L. C., Luna, et al. (2016). The balance between the serum levels of IL-6 and IL-10 cytokines discriminates mild and severe acute pneumonia. BMC pulmonary medicine, 16(1), 1-10.
Natsir, R., Prasetyo, E., Oley, M.C., & Langi, F. L. (2021). Hubungan kadar Interleukin 6 dan Interleukin 10 serum pada pasien cedera otak berat akibat trauma. Jurnal Biomedik, 13(1).
Pereira, L., Font-Nieves, M., Van den Haute, C., et al. (2015). IL-10 regulates adult neurogenesis by modulating ERK and STAT3 activity. Frontiers in cellular neuroscience, 9: 57.
Redford, P.S., Murray, P.J., & O’Garra, A. (2011). The role of IL-10 in immune regulation during M. tuberculosis infection. Mucosal Immunol. 4:261-270.
Ryanto, G., Bernadus, J.B., & Wahongan, G.J. (2019). Gambaran kadar biomarker human soluble tumor necrosis factor receptor II (STNF RII) pada penderita malaria. Jurnal Kedokteran Klinik, 3(1), 24-28.
Winarto & Budiono, U. (2009). Perbandingan sekresi IL-10 di jaringan sekitar luka insisi dengan dan tanpa infiltrasi levobupivakain: Studi imunohistokimia pada tikus wistar. Jurnal Anestesiologi Indonesia, 1(1): 32-41.
Editor: Fiorentina Refani
Leave a Reply